Skip to content Skip to sidebar Skip to footer
النُّصُوْصُ قَدْ إِنْتِهَى وَالْوَقَائِعُ غَيْرُ مُتَنَهِيَة # صَلِحٌ لَكُلِّ زَمَان وَمَكَان

MAKALAH TAFSIR TENTANG BUSANA MUSLIM (Q.S. AL-AHZAB: 59)


MAKALAH
TAFSIR TENTANG BUSANA MUSLIM
(Q.S. AL-AHZAB: 59)

Tulisan ini dibuat untuk memenuhi tugas mata kuliah Tasfsir pada semester IV
Dosen Pengampu: Ali Mahfudz, S.Th.I., M.S.I.



Disusun Oleh: 

Kholiliyyatul Mufakhiroh
(1631047)

FAKULTAS USHULUDDIN
PRODI ILMU AL-QURAN DAN TAFSIR
INSTITUT AGAMA ISLAM NAHDLATUL ULAMA KEBUMEN
TAHUN 2018


KATA PENGANTAR


Assalamu’alaikum Wr.Wb
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT. yang telah melimpahkan Rahmat dan Karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penulisan makalah yang berjudul “Tafsir tentang Busana Muslim Q.S. al-Ahzab:59” ini tepat pada waktunya.

Sholawat dan salam senantiasa kita haturkan kepada Baginda Rasulullah SAW. yang telah membawa kita selaku ummatnya dari zaman jahiliyyah menuju zaman yang penuh dengan nuansa Islami dan zaman yang penuh penerangan ini.

Ucapan terima kasih tidak lupa kami sampaikan kepada Dosen Pembimbing yakni Bapak Ali Mahfudz, S.Th.I., M.S.I. dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.

Penulis sadar bahwa makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat kami harapkan agar makalah ini mengalami perbaikan ke arah yang lebih baik lagi.

Wassalamu’alaikum Wr.Wb

Kebumen, 4 Mei 2018

Penulis




BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang

Al-Qur’an adalah kalam Tuhan yang telah mengalami tekstualisasi atau dalam bahasa lain telah terjadi strukturalisasi kalam Tuhan. Sebuah teks sakral yang menjadi pedoman hidup umat Islam. Maka tak heran, jika kemudian Nashr Hamid abu Zayd, seorang pemikir Islam kontemporer menyebut peradaban Islam adalah peradaban teks.

Dalam sejarahnya, al-Qur’an senantiasa berdialektika dengan kondisi sosial budaya pada masanya. Ayat-ayat hukum kerap kali turun sebagai bentuk respon atas sebuah peristiwa yang terjadi saat itu. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bagaimana menyikapi ayat yang turun sebagai respon khusus atas suatu peristiwa. Memperlakukan ayat tersebut secara umum tanpa memepertimbangkan historisitasnya atau mengambil signifikansi yang terkandung dalam ayat tersebut?

Ayat yang berbicara mengenai busana muslim dalam surat al-Ahzab ayat 59, setidaknya dapat mewakili satu di antara sekian banyak ayat yang memunculkan masalah di atas. Beragam jenis tafsir pun banyak bermunculan sebagai bentuk penyikapan. Di era kontemporer saat ini, busana muslim tidak hanya dijadikan sebagai sebuah penutup aurat belaka. Ia telah menjadi sebuah budaya, bahkan lebih ekstrim, ia telah berubah menjadi sebuah mode dan aksesoris penambah kecantikan. Oleh karenanya, dalam makalah singkat ini, kami akan mengeksplor tafsir ayat 59 dari surat al-Ahzab.


B. Rumusan Masalah


Dari latar belakang diatas dapat disimpulkan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apakah yang disebut dengan busana muslim?
2. Bagaimana latar belakang turunnya QS. Al-Ahzab:59?
3. Bagaimana penafsiran QS. Al-Ahzab: 59?
4. Apa saja kriteria busana muslim/ah?
5. Bagaimana Interpretasi Surat al-Ahzab: 59?
6. Bagaimana pendapat ulama tentang jilbab?
7. Apa saja fungsi dari berpakaian?


Q.S. Al-Ahzab: 59


يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. al-Ahzab:59).

Makna per-kata


يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ :Hai Nabi

قُلْ:katakanlah

لِأَزْوَاجِكَ : kepada isteri-isterimu

وَبَنَاتِكَ :anak-anak perempuanmu

وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ : dan isteri-isteri orang mukmin

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ : Hendaklah mereka mengulurkanke seluruh tubuh mereka

مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ : dari jilbabnya

ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ : Yang demikian itu supaya mereka lebih mudahuntuk dikenal

فَلَا يُؤْذَيْنَ : karena itu mereka tidak di ganggu

كَانَ اللَّهُ غَفُورًارَحِيمًا : Dan Allah adalah Maha Pengampun maha Penyayang


BAB II
PEMBAHASAN


A. Busana Muslim

Busana muslim atau lebih dikenal dengan Pakaian (sandang) adalah salah satu kebutuhan pokok manusia di samping makanan (pangan) dan tempat tinggal (papan). Selain berfungsi menutup tubuh, pakaian juga merupakan lambing status seseorang dalam masyarakat. Sebab pakaian ternyata merupakan perwujudan dari sifat dasar manusia yang mempunyai rasa malu sehingga berusaha selalu menutupi tubuhnya. Busana menurut Bahasa adalah segala sesuatu yang menempel pada tubuh dari ujung rambut sampai ujung kaki. Menurut istilah, busana adalah pakaian yang kita kenakan setiap hari dari ujung rambut sampai ujung kaki beserta segala pelengkapnya, seperti tas, sepatu dan segala macam perhiasan atau aksesoris yang melekat padanya. Dalam ajaran Islam, pakaian bukan semata-mata masalah budaya dan mode. Islam menetapkan batasan-batasan tertentu untuk laki-laki dan perempuan. Khusus untuk muslimah, memiliki pakaian khusus yang menunjukan jati dirinya sebagai seorang muslimah. Bila pakaia adat pada umumnya bersifat local, maka pakaian muslimah bersifat universal. Dalam arti dapat dipakai oleh muslimah di manapun berada.[1]

Sedangkan makna pakaian dalam al-Qur’an itu sendiri, al-Qur’an telah menggunakan tiga istilah untuk pakaian, yaitu libas, tsiyabdan sarabil.

Libas adalah penutup, apapun yang ditutup, meskipun hanya menutup sebagian, seperti cincin yang dipakai di jari manis. Dalam al-Qur’an kata libas digunakan untuk menunjuk pakaian lahir maupun batin (seperti taqwa yang dalam al-Qur’an disebut juga dengan libas libasuttaqwa). Berbeda dengan libas kata libas kata tsiyab hanya menunjukan pada pakaian lahir. Kata ini diambil dari kata tsaub yang berarti kembali, yaitu kembalinya sesuatu pada keadaan semula atau pada keadaan yang seharusnya sesuai pada ide pertanyaannya.[2]

Lantas apa ide dasar pakaian? Berdasar QS. Al-A’raf: 20-22 yang mengisahkan tentang Adam dan Hawa bahwa ide dasar pakaian adalah untuk menutup aurat. Namun karena godaan setan, aurat manusia menjadi terbuka (atau kalua sekarang dibuka). Dengan demikian, aurat yang ditutup dengan pakaian, akan dikembalikan kepada ide dasarnya, sehingga wajar, jika pakaiannya dinamai tsaub karena telah mengembalikan aurat kepada ide dasarnya yaitu untuk ditutup, bukan untuk dibuka apalagi dipamerkan. Ayat itu juga menegaskan bahwa pada hakekatnya menutup aurat adalah fitrah manusia yang diaktualkan pada saat ia memiliki kesadaran. Dengan demikian ide membuka aurat adalah ide setan, dan karenanya tanda-tanda kehadiran setan adalah keterbukaan aurat.[3]

Kata yang ketiga adalah sarabil. Kata ini berarti pakaian, apapun jenis dan bahannya. Dalam al-Qur’an, kata ini hanya disebut dua kali.dalam QS. An-Nahl: 18, dijelaskan kata sarabil adalah pakaian yang berfungsi untuk menangkal sengatan panas, dingin dan bahaya dalam peperangan. Dalam QS. Ibrahim: 50 dijelaskan tentang siksa yang akan dialami oleh orang-orang berdosa kelak “pakaian mereka dari pelangkin”. Dari sini dipahami bahwa pakaian ada yang menjadi alat penyiksa. Siksa tersebut karena yang bersangkutan tidak menyesuaikan diri dengan nilai-nilai yang diamanatkan oleh Allah.

Kata Jilbab – yang sudah menjadi Bahasa Indonesia diberi makna yang berbeda oleh para ulama. Makna-makna jilbab itu antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala wanita, pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakai, semua pakaian yang menutupi wanita. Menurut Ali as-Shabuni, jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh badan. Karena itu jilbab adalah pakaian yang lebih lebar dari kerudung dan sorban yang digunakan perempuan untuk menutup kepala dan dadanya. Yang jelas bila yang dimaksud adalah yang menutup leher dan dadanya dan kalua yang dimaksud pakaian yang menutupi baju, maka pakaian itu adalah yang longgar, tidak ketat.[4]

B. Latarbelakang (asbabun nuzul)

Para mufassir berpendapat bahwa ayat diatas (QS. Al-Ahzab:59) turun dengan latarbelakang mengenai dua wanita yang memiliki satus berbeda; merdeka dan budak, yang pada malam hari karena suatu hajat mereka keluar mereka keluar malam. Padahal, pada waktu itu, orang-orang fasiq penduduk madinah yang selalu keluar (begadang) di kegelapan malam. Mereka selalu menggoda perempuan-perempuan Madinah yang sedang keluar malam untuk memenuhi hajatnya. Ketika mereka ditanya mengapa mengganggu wanita-wanita tersebut, mereka menjawab, “kami kira mereka itu wanita budak”. Kemudian turunlah surat al-Ahzab:59 sebagai respon atas kejadian itu.[5]

Bila ayat sebelumnya menjelaskan larangan kepada siapapun mengganggu dan menyakiti Nabi, kaum Mukminin dan Mukminat. Maka ayat ini menjelaskan bahwa salah satu cara untuk menghindari penghinaan, pelecehan dan godaan adalah dengan memakai pakaian yang tidak menggoda, diantaranya jilbab. Pengganggu wanita, yakni hanya dilakukan oleh orang-orang yang lemah imannya atau munafik.[6]

C. Penjelasan Ayat (penafsiran ayat)

يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ

Allah SWT menyuruh Nabi Saw. agar memerintahkan wanita-wanita mukminat dan muslimat, khususnya para istri dan anak-anak perempuan beliau, supaya mengulurkan pada tubuh mereka jilbab-jilbab, apabila mereka keluar dari rumah-rumah mereka, supaya dapat dibedakan dari wanita-wanita budak.

Ali bin Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas. Katanya Allah menyuruh istri-istri kamu mukminin apabila mereka keluar dari rumah-rumah mereka untuk suatu keperluan, supaya mereka menutupi wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab-jilbab dan boleh memperlihatkan satu mata saja.[7]

أزواج: Yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah Ummahat al-Mu’minin, yakni istri-istri Rasul. Secara etimologis, lafadz زوج diperuntukkan bagi laki-laki maupun perempuan. Sementara pengucapan Lafadzزوجة , dengan menggunakan ta’ ta’nits dianggap benar, namun kurang fasih. Sebab, dalam al-Qur’an tidak pernah ditemukan penggunaan lafadz tersebut dengan tambahan ta’ ta’nits.[8]

يدنين: Dari akar kata دنا yang bermakna dekat atau turun. Lafadzيدنينmuta’addi dengan bantuan huruf jerr berupa على, sebab dalam lafadz tersebut mengandung makna as-Sadl (menguraikan/membiarkan turun). Maksud يدنينdari ayat tersebut adalah menutup wajah dan tubuh mereka supaya terbedakan antara wanita-wanita yang merdeka dan budak.[9]

جلابيبهن: Bentuk jamak dari lafadz جلباب, yakni sejenis pakaian yang lebih lebar dari pada khimar (penutup/tudung kepala wanita). Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa jilbab sama denganrida’ (sejenis selendang/penutup kepala). Pendapat ini didasarkan pada riwayat dari Ibnu Abbas dan Ibnu Mas’ud. Namun, ada pula sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa jilbab sama dengan Qina’ (cadar/ tutup kepala wanita). Maksudnya adalah pakaian yang menutupi seluruh anggota tubuh. Dari beberapa pendapat ulama tentang definisi jilbab di atas, As-Shabuni mengambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan jilbab adalah setiap pakaian yang menutupi seluruh anggota badan perempuan yang menyerupaimala’ah (semacam baju kurung wanita).

Sedang dari Ummu Salamah, mengatakan setelah ayat ini turun yaitu:

يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ

Maka para wanita Ansar keluar dalam keadaan kepala mereka bagai burung-burung gagak karena tenangnya, sedang mereka mengenakan pakaian-pakaian hitam. Kesimpulannya bahwa wanita muslimah apabila keluar dari rumahnya untuk suatu keperluan, maka wajib mengulurkan pada tubuhnya pakaian-pakaiannya, sehinnga seluruh tubuh dan kepalanya tertutup tanpa memperlihatkan sesuatu pun dari bagian-bagian tubuhnya yang dapat menimbulkan fitnah seperti kepala, dada, dua lengan dan lain sebagainya.[10]

Kemudian Allah SWT, memberi alasan hal itu dengan firman-Nya:

ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ

Menutupi tubuh seperti itu lebih memudahkan pengenalan mereka sebagai wanita terhormat, sehingga mereka tidak diganggu dan tidak menemui hal yang tidak diinginkan dari mereka yang tergoda hatinya karena mereka akan tetap menghormati.

Karena wanita yang pesolek akan menjadi sasaran keinginan laki-laki. Wanita seperti itu akan dipandang dengan pandangan yang mengejek dan memperolok-olok, sebagaimana dapat disaksikan pada setiap masa dan kota. Lebih-lebih pada masa sekarang, ketika tersebar pakaian senonoh, banyak kefasikan dan kejahatan.

وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan Tuhanmu adalah Maha Pengampun terhadap apa yang biasa terjadi akibat lalai menutupi aurat, juga banyak rahmat-Nya bagi orang-orang mematuhi perintahnya dalam bersikap kepada kaum wanita, sehingga Allah memberinya pahala yang besar dan membalasinya dengan balasan yang paling sempurna.[11]

D. Kriteria Busana Muslim/ah

Berangkat dari penjelasan tersebut, bisa dibuat rumusan sebagimana ijelaskan oleh Ali as-shabuni- mengenal busana muslim/ah. Pertama, Menutup aurat. Kata aurat diambil dari kata ar yang berarti onar, aib dan tercela. Ulama berbeda pendapat mengenai Batasan aurat, bagian tubuh mana. Imam Malik dan Abu Hanifah berpendapat bahwa laki-laki wajib menutup seluruh anggota badannya, dari pusar hingga lututnya. Pendapat lain mengemukakan bahwa aurat laki-laki itu alat kelamin dan pantatnya. Sedangkan aurat perempuan adalah seluruh badan kecuali muka dan telapak tangannya. Kedua, tidak transparan atau tembus pandang. Ketiga, tidak mencolok atau norak. Keempat, tidak ketat, pres body, tapi longgar. Orang yang berpakaian ketat, sehingga lekuk tubuhnyaNampak menonjol, dianggap sebagai orang yang berpakaian tapi hakekatnya telanjang (kasiyatun ‘ariyatun). Dengan kriteria seperti tersebut, diharapkan orang-orang yang berpakaian terhindar dari pelecehan, godaan dan penghinaan.[12]

E. Interpretasi Surat al-Ahzab: 59.

Seluruh ulama, baik klasik maupun kontemporer sepakat bahwa ayat di atas membicarakan tentang jilbab. Dengan demikian maka fokus kajian hukum yang terkandung dalam ayat tersebut adalah mengenai hukum mengenakan jilbab bagi wanita muslimah.

Mayoritas jumhur ulama klasik seperti Al-Qurtubi, At-Thobary, Az-Zamakhsyary, dll. sepakat atas kewajiban mengenakan jilbab bagi wanita muslimah. Meskipun dalam hal ini, masih terdapat perbedaan mengenai tata cara pemakaiannya akibat perbedaan batas aurat wanita. Sementara sebagian ulama kontemporer mengatakan tidak ada kewajiban bagi seorang muslimah untuk mengenakan jilbab. Pendapat ini dipegangi oleh pemikir-pemikir yang muncul pada sekitar abad 19-20 an, seperti M. Syahrur, Said al-Asymawi dan M. Quraish Shihab.

Ayat 59 dari surat al-Ahzab ini sangat berkaitan erat dengan surat an-Nur ayat 31 yang menjelaskan tentang wajibnya menutup aurat. Maka, dalam penafsirannya pun para ulama selalu menghubungkan kedua ayat tersebut. Surat al-Ahzab 59 merupakan pelengkap syari’at dari surat an-Nur ayat 31.

Zhahir dari surat al-Ahzab:59, telah dengan sangat jelas memberikan indikasi bahwa pemakaian jilbab bagi wanita adalah sesuatu yang wajib. Dari segi semantik, ayat tersebut terbebas dari shighat fi’il amar (kata perintah). Jumlahجَلَابِيبِهِنَّtermasuk kalam khabari bukan insya’iy. Salah satu dari bentuk kalam insya’ adalah kalam tersebut harus terdapat shighat fi’il amar. Sementara asal dari perintah adalah wajib. Meskipun ayat tersebut tidak menggunakan shighat fi’il amar, ayat tersebut tetap memberikan implikasi hukum wajib. Sebab, gaya bahasa dari ayat di atas memberikan faidah perintah secara tersirat. Konsep inilah yang dipegangi oleh mereka yang mewajibkan pemakaian jilbab bagi seorang wanita.

Permasalahan yang kemudian muncul adalah tentang tata cara pemakaian jilbab. Ibnu Jarir at-Thabari, sebagaimana dikutip as-Shabuni, berpendapat bahwa seorang wanita selain diharuskan menutup rambut dan kepalanya, ia juga harus menutup wajahnya dan hanya boleh menampakkan mata sebelah kiri saja. Sedangkan Abu Hayyan meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Qatadah, bahwa seorang wanita harus mengulurkan jilbabnya sampai di atas dahi kemudian mengaitkannya ke hidung. Wanita boleh menampakkan kedua matanya, namun harus menutupi dada dan sebagian besar wajahnya. Setelah menampilkan beberapa pandangan ulama, Ali ash-Shabuni pun senada dengan ulama yang menyatakan bahwa kewajiban wanita tidak hanya sekedar menutup rambut dan kepala saja, namun wajah pun harus juga ditutup. Ia mendasarkan pendapatnya pada surat an-Nur: 31 yang mengharuskan seorang wanita untuk tidak menampakkan perhiasannya. Sedangkan asal dari segala bentuk perhiasan adalah wajah, maka menutupinya adalah sebuah keharusan. Di antara hadits yang dijadikan dasar oleh mereka yang mewajibkan menutup wajah adalah sebuah riwayat dari Jarir bin Abdullah yang ketika itu menanyakan tentang hukum memandang seorang wanita, maka Rasul pun menjawab“Palingkanlah pandanganmu!” dan sebuah riwayat dari Ibnu Abbas, bahwa suatu hari Fadhil bin Abbas mengikuti Rasulullah di belakang. Fadhil adalah seorang yang memiliki wajah dan rambut yang indah. Kemudian datanglah seorang wanita dari suku Khats’am yang meminta fatwa kepada Rasul. Saat itu antara fadhil dan wanita tersebut saling pandang memandang. Maka Rasul pun mengalihkan pandangan Fadhil.

Sementara itu, mayoritas ulama dari kalangan Malikiyah dan Hanafiyahmenyatakan bahwa pemakaian jilbab tidak harus menutupi wajah. Mereka menyandarkan pendapatnya pada sebuah hadits yang diriwayatkan oleh sayyidah A’isyah bahwa suatu hari Asma’ binti Abu Bakar menemui Rasulullah SAW. Ia mengenakan baju tipis, maka Rasul pun memalingkan pandangannya dan berkata “Hai Asma’! Seorang wanita yang telah baligh tidak boleh menampakkan seluruh tubuhnya kecuali ini dan ini”, beliau memberi isyarat pada wajah dan kedua telapak tangannya. Al-Qurthubi dalam al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an menambahkan argumentasi logis bahwa pengecualian wajah dan telapak tangan dalam hal ini adalah pendapat yang layak untuk dipegangi. Sebab, dalam ibadah, seperti halnya sholat maupun ihram, seorang perempuan diharuskan untuk menampakkan wajah dan kedua telapaknya. Andaikan keduanya termasuk aurat maka seharusnya dalam ibadah shalat perempuan pun diharuskan menutup keduanya. Sebab hukum menutup aurat dalam shalat adalah wajib. Senada dengan Al-Qurthubiy, Wahbah Zuhaili dalam karya monumentalnya “Fiqh Islam waAdillatuhu”, menyatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Namun, ia juga menambahkan keterangan bahwa jika seseorang memandang wajah perempuan disertai dengan syahwat maka hukumnya haram. Hal ini didasarkan pada konsep Sadd adz-Dzari’ah.[13]

Meski di antara para ulama tersebut terjadi perbedaan pandangan tentang wajib dan tidaknya menutup wajah, namun mereka masih sepakat bahwa kewajiban berjilbab bagi wanita muslimah adalah syari’at dari Syari’ yang harus dita’ati. Jilbab tidak hanya sekedar budaya orang Arab. Syari’at jilbab berlaku umum bagi seluruh wanita muslimah di dunia. Spesifikasi kejadian pada saat turunnya Al-Ahzab:59, tidak menghalangi dilalahnya yang berlaku secara menyeluruh. Hal ini sesuai dengan kaidah ushuliyah “Al-Ibrah bi Umumil Lafdzi La bi Khushus as-Sabab”.

Terkait dengan masalah ini, seorang pemikir islam kontemporer M. Syahrur menolak berbagai macam pendapat di atas. Menurutnya jilbab bukanlah kewajiban seorang muslimah. Kewajiban seorang muslimah hanyalah menutup aurat. Dengan teori andalannya, yakni teori limit[14], ia mengambil kesimpulan bahwa batas minimal aurat perempuan adalah sebagaimana termaktub dalam surat an-Nur:31 yang berbunyi:

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا ۖ وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ ۖ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آبَائِهِنَّ أَوْ آبَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ ۖ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ ۚ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَ الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

Dalam pandangan Syahrur, batas minimal aurat wanita muslimah adalah“Juyuub”, yakni lubang atau celah dari badan seseorang yang tersembunyi yang memiliki dua lapisan, bukan satu lapisan. “Al-Juyuub” pada wanita memiliki dua lapisan, atau dua lapisan beserta lubangnya, yakni antara dua payudara, di bawah dua payudara, di bawah dua ketiak, kemaluan dan dua pantat. Sedangkan mulut, hidung, mata dan telinga termasuk “Juyuub Zhahirah” yang biasa terlihat karena terletak di bagian wajah yang merupakan identitas seseorang. Menurutnya, perempuan muslimah hanya wajib menutup “Juyuub al-Makhfiyah” yakni perhiasan tersembunyi saja bukan “Juyuub Zhahirah”.[15]

Selanjtnya pada ayat:

وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَىٰ جُيُوبِهِنَّ

Berdasar ayat ini, Syahrur berkesimpulan bahwa Allah memperbolehkan menampakkan “juyuub”yang biasa terlihat. Menurutnya, kalimat“Khumur” adalah tutup. Dengan demikian perempuan muslimah hanya diwajibkan menutup daerah antara dua payudara, di bawah dua payudara, di bawah dua ketiak, daerah kemaluan dan dua pantatnya. Inilah yang kemudian oleh Syahrur disebut sebagai batas minimal aurat perempuan.

Dalam Masalah aurat perempuan ini, Syahrur memandang bahwa surat al-Ahzab: 59 bukanlah ayat yang mengandung hudud, melainkan ayat yang mengandung anjuran yang bersifat informatif (nubuwwah). Manusia boleh mengikuti dan boleh juga tidak mengikuti sesuai dengan kondisi dan situasi lingkungannya. Maka, menurutnya jilbab bukanlah merupakan sebuah syariat wajib yang harus diikuti. Sedangkan Surat an-Nur: 31, termasuk ayat risalah, yakni kewajiban dari Allah untuk para hambanya yang menyangkut persoalan halal dan haram. Walhasil, dalam akhir pembahasannya tentang pakaian wanita ini, Syahrur menemukan konklusi bahwa pakaian mayoritas wanita di bumi masih belum melanggar hudud Allah (batas maksimal dan minimal), selama mereka tidak telanjang bulat dan menutup seluruh tubuhnya tanpa terkecuali.

Hampir senada dengan pandangan Syahrur, Quraish Shihab pun membantah jika mengenakan jilbab bagi seorang wanita muslimah adalah sebuah keharusan. Dalam Tafsir Al-Mishbahnya, ia menjelaskan bahwa surat al-Ahzab:59 tidak memerintahkan wanita muslimah untuk memakai jilbab, karena agaknya saat itu sebagian wanita muslimah telah memakainya. Hanya saja, cara pemakaiannya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat tersebut.[16] Untuk memperkuat pandangannya ini, Quraish Shihab menampilkan pandangan Sa’id Al-Asymawi, seorang pemikir liberal asal Mesir, bahwa Dalam QS. Al-Ahzab [33]: 59, ‘illat hukum pada ayat ini, atau tujuan dari penguluran jilbab adalah agar wanita-wanita merdeka dapat dikenal dan dibedakan dengan wanita-wanita yang berstatus hamba sahaya dan wanita-wanita yang tidak terhormat, agar tidak terjadi kerancuan menyangkut mereka dan agar masing-masing dikenal, sehingga wanita-wanita merdeka tidak mengalami gangguan dan dengan demikian terpangkas segala kehendak buruk terhadap mereka. Akan tetapi ‘illat hukum itu kini telah tiada, karena masa kini tidak ada lagi hamba-hamba sahaya, dan dengan demikian tidak ada lagi keharusan membedakan antara yang merdeka dengan yang berstatus hamba sahaya. Di samping itu, wanita-wanita mukminah tidak lagi keluar ke tempat terbuka untuk buang air dan tidak juga mereka diganggu oleh lelaki usil. Nah, akibat dari ketiadaan ‘illat hukum itu, maka ketetapan hukum dimaksud menjadi batal dan tidak wajib diterapkan berdasarkan syariat agama.[17]

Berdasar alur logika yang digunakan Quraish Shihab dalam menyikapi ayat tentang jilbab, maka sebenarnya dalam hal pakaian wanita yang terpenting adalah bagaimana seorang wanita mampu berpakaian secara terhormat sesuai adat, budaya dan kondisi tertentu. Pada dasarnya jilbab adalah budaya wanita Arab. Sementara, masing-masing daerah mempunyai budaya yang berbeda dan memaksakan budaya lain pada sebuah daerah tertentu tidaklah tepat.

F. Kilas Analisis Pendapat Ulama

Sebagaimana pemaparan di atas, bahwa dalam masalah jilbab ini masih terjadi perselisihan di antara para ulama. Muara awal munculnya perbedaan pemahaman ini disebabkan adanya perbedaan metode pendekatan penafsiran. Di samping itu ketidakjelasan nash al-Qur’an dalam menentukan batasan aurat juga menjadi salah satu pemicu polemik ulama.

Kelompok ulama, seperti Abu Hayyan, Ibnu Jarir at-Thobari, al-Utsaimin dan Ali ash-Shabuni menyatakan bahwa hukum memakai jilbab adalah wajib bagi setiap muslimah. Tidak hanya itu, setiap muslimah juga diwajibkan untuk menutup wajah dan kedua telapak tangannya. Pendapat ini terkesan ekstrim. Dalam konteks kekinian, bisa dibayangkan jika kemudian seorang muslimah wajib menutup wajah dan telapak tangannya, maka yang terjadi adalah masyaqqoh sosial. Identitas wanita menjadi kabur. Kebebasan wanita menjadi sangat terbatasi. Wanita menjadi sangat susah untuk berinteraksi secara sosial. Syari’at Islam diturunkan tidak untuk menciptakan Masyaqqat maupun mafsadah, tetapi justru sebaliknya, ia diturunkan dalam rangka menciptakan maslahah secara umum.

Di sisi lain, kelompok pemikir muslim seperti M. Syahrur dan Said al-Asymawi menyatakan bahwa sebenarnya pemakaian jilbab bukanlah sebuah syari’at wajib yang harus dilaksanakan. Ayat tentang jilbab hanya berbicara tentang budaya lokal arab. Dengan demikian standar pakaian wanita didasarkan pada ukuran kehormatan dan kesopanan di daerah tertentu. Bahkan, lebih ekstrim lagi, Syahrur mengeluarkan statement bahwa selama wanita tidak telanjang bulat, wanita tersebut belum melanggar hudud Allah. Pendapat ini pun terkesan terlalu bebas dan kelewat batas. Pisau analisis yang dipakai Syahrur dalam menafsirkan batas-batas aurat tidaklah tepat. Teori limit yang ia gunakan adalah teori matematika yang bersifat paten. Dengan metode tersebut Syahrur terjebak dalam “dogmatisme ilmu kealaman”. Ia menganggap ilmu kealaman adalah juru tafsir satu-satunya yang paling tepat atas realitas. Padahal Ayat-ayat al-Qur’an senantiasa berdialektika dengan kondisi sosial budaya yang melingkupinya. Maka, bagaimana mungkin teori ilmu kealaman yang bersifat pasti digunakan untuk membedah permasalahan yang bersifat sosial budaya. Inilah yang kemudian menjadi kelemahan teori Syahrur. Aspek sosio- historis ayat kurang diperhatikan. Berdasar teorinya, akan sangat lucu jika seorang wanita diperkenankan berjalan-jalan dan melakukan aktifitas sosial dengan hanya berbikini saja.

Poin penting yang bisa diambil dalam polemik jilbab ini adalah bahwa sebenarnya jilbab bukanlah sebuah keharusan. Jilbab pada dasarnya memang tradisi lokal arab. Meski demikian, perempuan muslimah tidak lantas kemudian bebas mengumbar aurat. Islam mewajibkan seseorang untuk menutup aurat. Sementara batas aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali wajah dan telapak tangan. Walhasil, wanita muslimah tidak wajib berjilbab, tetapi yang wajib adalah menutup aurat. Islam memberikan kebebasan untuk memakai jenis model pakaian. Yang terpenting adalah pakaian tersebut mampu untuk menutupi aurat.[18]


G. Fungsi Pakaian

Dari berbagai keterangan sebelumnya dapat diambil kesimpulan bahwa menutup aurat sangatlah penting bagi kemaslahatan seseorang, menutup aurat akang sangat banyak mendatangkan manfaat entah itu bagi diri sendiri maupun bagi orang lain. Diantara fungsi pakaian secara subtansial adalah sebagai berikut:

1. Perlindungan, untuk menjaga keamanan diri pemakainya dari godaan-godaan orang-orang yang iseng.
2. Sebagai petunjuk identitas yang membedakan antara satu dengan lainnya.
Sedangkan fungsi material dari pakaian adalah:

1) Melindungi tubuh dari panas, dingin danlainnya.
2) Sebagai penutup aurat dan
3) Sebagai perhiasan.



BAB III
PENUTUP


A. Kesimpulan

Berpijak dari beberapa uraian pemaparan di atas, dapat di ambil kesimpulan bahwa dalam masalah jilbab ini masih terjadi perselisihan di kalangan ulama. Ada yang menganggap bahwa memakai jilbab adalah kewajibab bagi setiap muslimah dan ada pula yang menganggap bahwa pemakaian jilbab bukanlah sebuah keharusan. Perbedaan ini muncul karena paradigma yang digunakan dari masing-masing ulama berbeda.Jadi kesimpulannya, dalam berpakaian itu hendaklah berpakaian yang bisa menutupi aurat kita, seperti ketentuan pakaian menurut prof. Dr. M. Quraish Shihab, yang dalam hal ini bersifat anjuran sebagai berikut:

1. Jangan bertabarruj.

Dalam arti tidak menampakkan “perhiasan” secara berlebihan, memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai, menampakan sesuatu yang biasanya tidak ditampakkan kecuali kepada suami, yang dapat membuat pria lain kagum dan menimbulkan hal yang tidak baik.

2. Jangan mengundang perhatian pria

Hal ini dapat dilihat pada makna penggalan ayat dalam al-Qur’an (QS. An-Nur:31)

3. Jangan memakai pakaian yang ketat dan transparan
4. Jangan berpakaian yang menyerupai pakaian pria.

B. Saran

Syariat jilbab adalah syari’at yang masih diperdebatkan. Untuk itu, dalam menyikapi perbedaan, hendaklah kita bisa bersikap arif dan bijaksana. Kita harus mampu membedakan mana khilafiyah yang terkait dengan masalah ushul dan mana yang furu’. Sikap fanatisme ekstrim terhadap satu aliran atau pemikiran tertentu sebaiknya ditanggalkan. Saling menvonis kafir antar kelompok adalah sikap yang semakin menunjukkan ketidakdewasaan dalam beragama. Maka dari itu, jadikanlah perbedaan sebagai rahmat bukan sebagai laknat.

Selama umat Muslim jauh dari tuntunan al-Qur’an dan as-Sunnah maka mungkin kita umat Muslim tidak akan pernah meraih kemajuan seperti yang telah diraih dahulu dalam sejarah dimasa kejayaannya. Jadi solusinya saatnyalah kita kembali kepada al-Qur’an dan as-Sunnah, sebab segala sesuatu yang berhubungan dengan kepentingan manusia dalam hal ini khususnya berbusana sudah diatur dalam al-Qur’an dan as-Sunnah.



DAFTAR PUSTAKA

Al-Maraghi, A. M. (1992). Terjemah Tafsir Al-Maraghi. Semarang: PT. Karya Toha Putra.

Dani, M. (2012, Mei). Tafsir Ayat Tentang Jilbab. Retrieved from http://duniasantridarmak.blogspot.co.id/2012/05/tafsir-ayat-tentang-jilbab,html?m=1

el-Choy, A. (2011, Oktober 20). Jilbab; Antara Syari’at dan Budaya. Retrieved from http://pascasarjanahiunisma.wordpress.com/2011/10/20/jilbab-antara-syariat-dan-budaya/

Ghafur, W. A. (2005). Tafsir Sosial. Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press.

Shihab, M. (2006). Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati.

Shihab, M. (2006). Tafsir al-Misbah. Jakarta: Lentera Hati.

Sya’rawi, M. M. (2004). Fiqh Wanita. Jakarta: Al-Maktabah at-Taifiqiyah.

Syahrur, M. (t,t). Syahrur al-Kitab wal-Qur’an. Al-Ahaliy.



[1]Muhammad Mutawalli Sya’rawi, Fiqh Wanita, (Jakarta: Al-Maktabah at-Taifiqiyah, 2004), hal 471.
[2]Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press, 2005), hal 166.
[3]Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press, 2005), hal 166.
[4]Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press, 2005), hal 167
[5]Muhammad Dani, Tafsir Ayat Tentang Jilbab, http://duniasantridarmak.blogspot.co.id/2012/05/tafsir-ayat-tentang-jilbab,html?m=1(diakses tanggal 5 Mei pukul 21.00)
[6]Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press, 2005), hal 168
[7]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), hal: 63
[8]Muhammad Dani, Tafsir Ayat Tentang Jilbab, http://duniasantridarmak.blogspot.co.id/2012/05/tafsir-ayat-tentang-jilbab,html?m=1(diakses tanggal 5 Mei pukul 21.00)
[9]Muhammad Dani, Tafsir Ayat Tentang Jilbab, http://duniasantridarmak.blogspot.co.id/2012/05/tafsir-ayat-tentang-jilbab,html?m=1(diakses tanggal 5 Mei pukul 21.00)
[10]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), hal: 63.
[11]Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Terjemah Tafsir Al-Maraghi, (Semarang: PT. Karya Toha Putra, 1992), hal: 64.
[12]Waryono Abdul Ghafur, Tafsir Sosial, (Yogyakarta: Penerbit Elsaq Press, 2005), hal: 169.
[13] Muhammad Dani, Tafsir Ayat Tentang Jilbab, http://duniasantridarmak.blogspot.co.id/2012/05/tafsir-ayat-tentang-jilbab,html?m=1(diakses tanggal 5 Mei pukul 21.00)
[14]Teori limit adalah salah satu teori dalam ilmu matematika yang kemudian oleh Syahrur dijadikan sebagai interpretasi ayat-ayat al-Qur’an.
[15]Muhammad Syahrur, al-Kitab wal-Qur’an, (Al-Ahaliy, t,t), hlm 607.
[16]M.Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006) XI, hlm. 321.
[17]M.Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hlm. 158.
[18]Alim el-Choy, Jilbab; Antara Syari’at dan Budaya, http://pascasarjanahiunisma.wordpress.com/2011/10/20/jilbab-antara-syariat-dan-budaya/(diakses pada tanggal 7 Mei pukul 22.00).

Post a Comment for "MAKALAH TAFSIR TENTANG BUSANA MUSLIM (Q.S. AL-AHZAB: 59)"